Kepustakaan hukum Indonesia memakai
berbagai macam istilah untuk menterjemahkan ”VERBINTENIS” DAN “OVEREENKOMST”,
yaitu :
- KUH Perdata, Subekti dan Tjiptosidibio menggunakan istilah perikatan untuk “VERBINTENIS” dan Persetujuan untuk “OVEREENKOMST”;
- Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk “VERBINTENIS” dan Perjanjian untuk “OVEREENKOMST”;
- Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menterjemahkan “VERBINTENIS” dengan Perjanjian dan “OVEREENKOMST” dengan persetujuan;
Dari uraian di atas ternyata untuk
“VERBINTENIS” dikenal tiga istilah yaitu : Perikatan, Perutangan dan
Perjanjian, sedangkan untuk “OVEREENKOMST” dipakai dua istilah yaitu :
Perjanjian dan Persetujuan. “VERBINTENIS” berasal dari kata krja Verbiden yang
artinya mengikat. Jadi Verbitenis menunjuk kepada adanya “Ikatan” atau
“Hubungan”. Hal ini memang sesua dengan definisi Verbintenis sebagai suatu
hubungan hukum. “OVEREENKOMST” berasal dari kata kerja :Overeenkomen” yang
artinya “setuju” atau “sepakat”. Jadi Overeenkomst mengandung kata sepakat
sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah
terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut.
Dalam buku III KUH Perdata
mempergunakan judul tentang Perikatan, namun tidak ada satu pasal pun yang
menerangkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan perikatan. Menurut sejarahnya
“VERBINTENIS” berasal dari kata perkataan Perancis “Obligation” yang terdapat
dalam code civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari
perkataan “Obligato” yang terdapat dalam hukum Romawi Corpus Iuris Civilis,
dimana penjelasannya terdapat dalam Institutiones Justianus.
Perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu, dan juga merupakan suatu hubungan hukum antara dua
orang misalkan A berhak menuntut sesuatu kepada B dan B berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut tersebut bisa disebut Kreditor dan
Pihak yang wajib memenuhi tuntutan menuntut bisa disebut Debitor. Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari
peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang
membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber penting
yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh
suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga
sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup
dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan
ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Sumber-sumber yang tercakup dalam
satu nama, yaitu undang-undang, diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang
saja, dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan
yang terakhir ini diperinci pula, yaitu dibedakan anatara perbuatan melawan
hukum.
Meskipun pengaturan perbuatan
melawan hukum dalam KUH Perdata hanya dalam beberapa pasal saja, sebagaimana
juga yang terjadi di Negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental
lainnya. Perbuatan Melawan Hukum disini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan
melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab, untuk tindakan perbuatan melawan
hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah “perbuatan pidana”
mempunyai, Konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali. Demikian
juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa Negara atau yang disebut
dengan “onrecht matige overheidsdaad” juga memiliki arti, konotasi dan
pengaturan hukum yang juga berbeda.
Perjanjian merupakan hal yang selalu
terjadi dalam praktek peralihan hak atas tanah yang terjadi di tengah kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini suatu perjanjian dapat dibuat oleh para pihak yang
akan membuat suatu perjanjian, menentukan suatu perjanjian itu sesuai dengan
kesepakatan yang mereka sepakati secara bersamaan. Berbeda dengan Hukum Benda
mempunyai suatu sistem yang tertutup, sedangkan sistem perjanjian menganut
sistem yang terbuka, artinya bahwa sistem tertutup adalah bahwa
peraturan-peraturannya terbatas pada ketentuan mengenai benda sehingga bersifat
memaksa, sedangkan perjanjian memberikan kebebasan untuk membuat bentuk
perjanjian.
Mengingat bahwa perjanjian memiliki
sifat yang terbuka, sehingga pihak yang bermaksud untuk membuat suatu
perjanjian dapat membuat perjanjian sesuai dengan keinginan yang mereka
kehendaki bersama dan perjanjian tersebut dengan sendirinya akan menjadi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, asalkan maksud dan tujuan dari
perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ketertiban, dan norma-norma sebagai peraturan yang hidup di dalam masyarakat.
Hal tentang perjanjian dan pembatasan-pembatasannya telah diatur dalam buku III
KUH Perdata dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi “Semua Perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dari peraturan tersebut dapat
disimpulkan bahwa masyarakat dapat membuat suatu perjanjian yang berupa dan
berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti
suatu undang-undang. Dalam hukum perjanjian dikenal juga mengenai asas
konsensualitas yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah sejak diawali
kesepakatan kedua belah pihak untuk membuat suatu perjanjian. Asas tersebut
diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian
harus memiliki 4 unsur yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu perjanjian, 2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Adanya objek tertentu, dan yang
terakhir 4. Suatu sebab yang halal, syarat nomor 1 dan nomor 2 merupakan syarat
subyektif yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan
syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat obyektif yang jika tidak terpenuhi maka
perjanjian batal demi hukum.
Jual beli (menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana
pihak yang satu (penjual) berjanjia untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanjia untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.
Perkataan jual beli menunjukan bahwa
dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain
dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu
adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga
mengandung pengertian bahwa pihak yang satu ”Verkoopt” (menjual) Sedang
yang lainnya ”koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual beli disebut
dengan hanya “sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari
sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa perancis disebut hanya dengan ”Vente”
yang juga berarti penjualan, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan
”Kauf” yang berarti pembelian. Barang yang menjadi obyek perjanjian jual
beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya
pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.
Unsur-unsur pokok (essentialia)
perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme
yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian
jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang
dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga. Begitu
kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian
jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli
tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi Jual beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar.
Konsensualisme berasal dari
perkataan “Konsensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan
bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian
kehendak artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang
dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat”
tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan
mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya setuju dan sebagainya ataupun dengan
bersama-sama menaruh tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui
segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang
satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka
adalah sama, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka
kehendaki adalah sama dalam kebalikannya. Misalnya yang satu ingin melepaskan
hak miliknya atas suatu baran asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai
gantinya, sedang yang lain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan
bersedia memberikan sejumlah uang yang disebutkan itu sebagai gantinya kepada
si pemilik barang.
Sebagaimana kita ketahui hukum
perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas konsensualisme.
Artinya ialah hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu
menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja
dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya
consensus sebagaimana dimaksud diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah
jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang
sebelumnya.
Sudah jelas kiranya bahwa asas
konsensualisme itu harus kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal
1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lazimnnya disimpulkan suatu asas lain
dari hukum perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu adanya atau
dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der
contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan
menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”.
Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa
kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatknya undang-undang.pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti persesuaian
kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau
keinginan yang disimpan didalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan
karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan
suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan
perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa
saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa
yaitu pihak-pihak yang menawarkan (melakuakan offerte) maupun oleh pihak
yang menerima penawaran tersebut.
Dengan demikian maka yang akan
menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah
pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Undang-undang berpangkal pada asas konsensus. Kita terpaksa berpijak pada
pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Dan ini pula
merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita
harus berpijak pada apa yang telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada
setiap orang yang telah membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin
dituntut memenuhi kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan
kehendak kepadanya.
Pernyataan timbal balik dari kedua
belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik
diantara mereka. Apakah semua pernyataan dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak yang melakukan pernyataan itu? Karena mengenai hal ini tidak kita
ketemukan sesuatu ketentuan dalam undang-undang, maka persoalan itu telah
dipecahkan oleh para sarjana dan oleh yurisprudensi.
Oleh karena itu maka sudah tepat
bahwa adanya perjumpaan kehendak (konsensus) itu diukur dengan
pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Adanya
konsensus itu malahan sebenarnya sering dikonstruksikan oleh hakim. Berdasarkan
pernyataan-pernyataan bertimbal balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan
sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti
undang-undang). Dan sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah lagi yang
akan menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan
dan apa saja hak dan kewajiban para pihak.
Asas konsensualisme yang terkandung
dalam pasal 1320 dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1 tampak jelas pula dari
perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian . kalau kita ambil perjanjian
yang utama yaitu jual beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dari
perumusan dalam pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi Jual
beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar.
Suatu perjanjian merupakan suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga
macam yaitu :
- Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (misalnya Jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam pakai);
- Perjanjian untuk berbuat sesuatu (misalnya perjanjian untuk membuat suatu bangunan, dan lain sebagainya);
- Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu (misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan; dan lain sebagainya);
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban
utama yaitu menyerahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan dan
menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap
cacat-cacat yang tersembunyi.
Kewajiban menyerahkan hak milik
meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak
milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada pembeli.
Oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tetap dan
barang tak bertubuh, maka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga ada
tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing berlaku untuk masing-masing
macam penyerahan barang itu.
Untuk barang bergerak cukup dengan
penyerahan kekuasaan atas barang itu, hal ini diatur dalam pasal 612 yang
berbunyi sebagai berikut penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak
bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau
atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada.
Untuk barang tetap (tak bergerak)
dengan perbuatan yang dinamakan balik nama menurut pasal 616 dihubungkan dengan
pasal 620, pasal-pasal mana berbunyi sebagai berikut. Pasal 616 penyerahan
atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan
akta yang bersangkutan dengan cara
seperti ditentukan dalam pasal 620. Pasal 620 dengan mengindahkan
ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud
diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari
akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik,
yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan
berada dan dengan membukukan dalam register.
Bersama-sama dengan pemindahan
tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan
hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau petikan dari akta atau keputusan
itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan
nomor dari register yang bersangkutan.
Dalam pada itu segala sesuatu yang
mengenai tanah dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku I Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sudah diatur dalam Undang-undang Pokok
Agraria (Undang-undang Nomor 5 tahun 1960).
Selanjutnya Peraturan Pemerintah
Nomor 1961 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok
Agraria dan kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa Jual Beli tanah harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
Barang tak bertubuh dengan perbuatan
yang dinamakan “Cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik
atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan
kepada orang lain.
Penyerahan yang demikian bagi si
berutang tiada akibat melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya
secara tertulis disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena
surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, Penyerahan tiap-tiap piutang
karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan Surat disertai dengan
endosemen.
Kewajiban utama si pembeli ialah
membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut
perjanjian. Harga tersebut harus berupa sejumlah uang meskipun mengenai hal ini
tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan
sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak,
umpamanya harga itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjian menjadi
“tukar menukar” atau kalau harga itu berupa suatu jasa, perjanjian akan menjadi
suatu perjanjian kerja dan begitu seterusnya. Dalam pengertian jual beli sudah
termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang.
Tentang macamnya uang dapat diterangkan bahwa meskipun jual beli itu terjadi di
Indonesia, tidak diharuskan bahwa harganya itu ditetapkan dalam mata uang
rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkan dalam mata uang
apa saja.
Dalam hukum perjanjian dikenal juga
mengenai asas konsensualitas yang mengartikan bahwa perjanjian itu sudah sah
sejak diawali kesepakatan kedua belah pihak untuk membuat suatu perjanjian.
Asas tersebut diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan sahnya
suatu perjanjian harus memiliki 4 unsur yaitu 1. Sepakat untuk membuat suatu
perjanjian, 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, 3. Adanya objek tertentu,
dan yang terakhir 4. Suatu sebab yang halal, syarat nomor 1 dan nomor 2
merupakan syarat subyektif yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian dapat
dibatalkan, sedangkan syarat nomor 3 dan 4 adalah syarat obyektif yang jika
tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum.
Sepakat yaitu mereka saling setuju
untuk mengadakan pokok-pokok dalam perjanjian, dengan adanya timbal balik
misalnya dalam jual beli penjual menyepakati untuk memberikan tanahnya dan
pembeli menyetujui untuk memberikan sejumlah uang. Cakap dimaksudkan seseorang
sudah dikatakan dewasa, sehat pikirannya sehingga cakap untuk melakukan
perbuatan hukum. Dalam pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak
cakap untuk melakukan suatu perjanjian yaitu orang-orang yang belum dewasa, dan
mereka yang ditaruh dalam pengampuan. Adanya obyek tertentu merupakan syarat
yang harus jelas mengenai apa yang menjadi obyek dalam perjanjian yang akan
dibuat, dan yang terakhir suatu sebab yang halal merupakan syarat dimana apa
yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku
dimasyarat.
Risiko ialah kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah
satu pihak. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi obyek perjanjian
ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul
kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti
kerugian itu, dinamakan pihak yang memikul risiko atas barang tersebut.
Persoalan tentang risiko itu
berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu
pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum
dinamakan “keadaan memaksa” (“Overmacht”, “Force Majeure&rdquo
.
Dengan demikian maka persoalan tentang resiko itu merupakan buntut dari
persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tidak disengaja dan tak
dapat diduga.

Dalam bab mengenai syarat-syarat
untuk sahnya suatu perjanjian, telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian adalah batal demi hukum. Dalam hal
yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak
ada suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Tujuan para pihak untuk meletakan suatu perikatan yang mengikat mereka satu
sama lain telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di
depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan karena
jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
Apabila pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat subyektif sebagaimana sudah kita
lihat, maka perjanjian itu bukan batal demi hukum, tetapi dapat diminta
pembatalan (Canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak
yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri
apabila ia sudah menjadi cakap) dan pihak yang memberikan perizinannya atau
menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak
mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang
demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh
masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.
Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang
demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.
Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut keamanan
dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan
syarat-syarat subyektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin
tidak mengingini perlindungan hukum tehadap dirinya, misalnya seorang yang oleh
undang-undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul
tanggungjawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau seorang
yang telah memberikan persetujuaan karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali
segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai
syarat subyektif itu tidak begitu saja dapa diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan
oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin
sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu, dalam hal adanya
kekurangan mengenai syarat subyektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak
yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak.
Jadi perjanjian yang demikian itu, bukannya batal demi hukum, tetapi dapat
dimintakan pembatalan.
Persetujuan kedua belah pihak yang
merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian
ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas yaitu : Paksaan, Kekhilafan
dan Penipuan. Yang dimaksudkan dengan paksaan adalah paksaan rohani atau
paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu
pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Jadi kalau seorang dipegang tanggannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda
tangan dibawah sepucuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang
dibicarakan disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan
perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan
ini tidak memberikan persetujuan (perizinan), tetapi secara tidak bebas,
sepertinya seorang yang memberi akan persetujuannya karena ia takut terhadap
suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia
tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu harus suatu perbuatan
yang terlarang. Kalau yang diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan
oleh undang-undang, misalnya ancaman akan digugat di depan hakim, maka tidak
dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai mungkin, bahwa
paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan penipuan, yang
hanya dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi,
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi
obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak
khikaf mengenai hal-hal tersebut, ia akan memberikan persetujuan. Kekhilafan
juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk minta pembatalan
perjanjian. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling
sedikit harus sedemikian rupa sehinga pihak lawan mengetahui bahwa ia
berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan. Kalau pihak lawan itu
tidak tahu ataupun tidak dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang
khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan perjanjiannya.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar
disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan
pihak lawannya. Menurut yurisprudensi tak cukuplah kalau orang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu
rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan
seorang dan ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian,
memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam
memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjian. Dengan
sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak
boleh meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak
saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Meminta
pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibatasi
sampai suatu batas waktu tertentu yaitu lima tahun. Waktu mana mulai berlaku
(dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut
hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal
kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap
pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu
dapat dikemukakan.
Memang ada dua cara untuk meminta
pembatalan perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif
sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara
kedua menunggu sampai ia digugat didepan hakim untuk memenuhi perjanjian
tersebut. Didepan sidang pengadilan itu, ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa
perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum cakap, ataupun
disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyek perjanjian
atau karena ia ditipu. Dan didepan sidang pengadilan itu ia memohon kepada
hakim supaya perjanjian dibatalkan.
Sumber :
http://www.hukumpedia.com/bintangpartogi/hukum-perikatan
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar